3 Fakta Mengenai Aturan Perpajakan UMK
Ketika anda membuka usaha berbasis UMK, berarti anda siap untuk berhadapan dengan segala konsekuensinya.
Tak terkecuali kewajiban anda untuk membayar pajak. Berikut ini 3 fakta terkait aturan perpajakan UMK yang perlu anda ketahui.
Tidak Spesifik Menyebutkan UMK
Dalam pasal 2 PP 46 tahun 2013, hanya disebutkan bahwa pihak yang masuk dalam kategori wajib pajak adalah yang memiliki usaha dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 Miliar per tahun.
Secara tidak langsung, aturan tersebut merujuk kepada UMK (Usaha Mikro dan Kecil). Sementara untuk usaha kelas menengah (omzet antara Rp 4,8 Miliar s/d Rp 50 Miliar) memiliki aturan pajak yang berbeda.
Sederhana
Pemerintah menjadikan pajak UMK sangat sederhana. Pasalnya, tidak diperlukan pembukuan yang kompleks untuk dapat menentukan berapa besar pajak yang harus dibayarkan.
Satu-satunya informasi yang dibutuhkan adalah peredaran bruto per bulan, yakni omzet perusahaan per bulan dikurangi dengan retur dan diskon (penjualan bersih).
Jadi, pengusaha UMK hanya memerlukan catatan penjualannya saja untuk dapat menghitung besar pajak yang harus dibayarkan.
Tidak Proporsional (?)
Banyak sekali pihak-pihak yang menilai bahwa pajak untuk UMK tidaklah proporsional. Hal ini dikarenakan pengenaan pajaknya didasari oleh peredaran bruto, bukan dari laba.
Alhasil selama kita masih melakukan penjualan setiap bulannya, kita akan selalu dikenakan pajak UMK, tidak peduli apakah usaha kita rugi atau untung.
Itulah insight yang bisa Tebi bagikan pada kesempatan ini. Terlepas dari semua hal terkait pajak UMKM, semoga kita semua menjadi orang yang taat pajak ya.
Bagi yang ingin terus menambah pengetahuan dan wawasan terkait ekonomi, keuangan, akuntansi, dan bisnis ikuti terus artikel Tebi ini ya! Semoga bermanfaat.