Pengguna Yang Tidak Selalu Benar

Oleh: Andreas Senjaya

Designed by Freepik

Salah satu kaidah umum dalam pengembangan produk, baik teknologi maupun bukan, adalah selalu berorientasi pada pengguna atau customer.

Dan salah satu cara terbaik untuk melakukan itu dengan selalu mendengarkan pengguna kita. Apa feedback mereka untuk produk kita, bagaimana pendapat mereka tentang fitur atau fungsi tertentu produk kita, apa yang mereka inginkan terjadi untuk produk kita.

Namun informasi yang kita dapatkan dari pengguna ketika mereka ditanya, ternyata tidak sepenuhnya bisa dikatakan merupakan sebuah kebenaran.

Tidak benar di sini bukan tentang kebohongan, tapi ada banyak bias yang mungkin terjadi dalam mendapatkan informasi tersebut.

Bias dapat terjadi bahkan pada saat kita menanyakan langsung kepada mereka tentang produk kita. Metode memperoleh informasi dari pengguna kita sangat mempengaruhi seberapa berkualitas, seberapa insightful, dan seberapa jelas informasi tersebut.

Mantan product manager Pinterest, Sarah Tavel menceritakan dalam salah satu kesempatan sharing session dengan para peserta Google Launchpad Batch 3, tentang pengalamannya mendapatkan masukan dari pengguna produknya sendiri secara langsung yang missleading dan mungkin seharusnya dihiraukan.

Sharing dari Sarah Travel di Google Launchpad | Sumber: Andreas Senjaya

Saat itu Pinterest melakukan survey kepada pengguna mreka yang punya loyalitas tinggi kepada produk mereka, ternyata didapatkan masukan bahwa mereka membutuhkan fitur untuk melakukan banyak aktivitas “pin” dalam 1 waktu bersamaan. Akhirnya dengan sigap tim produk merealisasikan fitur tersebut dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Namun yang terjadi alih-alih tingkat penggunaan yang meningkat, mereka malah mendapati bahwa terjadi penurunan pengguna mereka sebesar 1% dalam waktu singkat. Akhirnya mereka menarik kembali fitur tersebut.

Dengan kejadian itu mereka menyadari, tidak semua pendapat dan masukan pengguna harus direalisasikan. Kita harus mampu memilah pilih mana yang merupakan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan lalu akan dipakai oleh sebagian pengguna kita, dan mana yang tidak.

Kita memang mendapatkan informasi tentang apa yang mereka pikirkan dengan bertanya, tapi informasi itu tidak cukup utuh merepresentasikan apa yang sebenarnya dibutuhkan sebelum kita mengetahui bagaimana perilaku pengguna terhadap produk kita.

jika kita ingin mengetahui bagaimana perilaku pengguna terhadap produk kita, tidak bisa melakukannya hanya dengan bertanya dan mendengarkan jawaban pengguna kita. Cara terbaik untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan produk kita.

Apa yang dikatakan oleh pengguna, tidak merepresentasikan apa yang mereka lakukan

Ada sebuah kisah yang bisa menjadi pelajaran dalam dunia UX design, tentang pentingnya menemukan metode yang tepat untuk mengeksplorasi informasi dari pengguna kita.

Kisah ini menceritakan Sony yang sedang melakukan riset pasar tentang produk boom box terbarunya, boom box berwarna kuning. Mereka membuat focus group discussion (FGD) yang pesertanya adalah para remaja yang merupakan target market mereka.

Sony melakukan FGD untuk menjawab pertanyaan, warna apa yang paling mereka sukai, antara hitam atau kuning. Ternyata didapatkan semua peserta sepakat bahwa mereka lebih menyukai warna kuning dibandingkan hitam.

Setelah FGD selesai, fasilitator berterima kasih dan sebagai hadiah memberikan boom box gratis kepada semua peserta yang dapat diambil di pintu keluar.

Di pintu keluar ada dua box yang satu berisi boom box hitam dan yang lainnya berisi boom box kuning. Dan ternyata setiap peserta mengambil boom box berwarna hitam alih-alih kuning seperti yang mereka katakan sebelumnya.

Boombox Sony | Sumber: Andreas Senjaya

Kenapa yang mereka lakukan bisa berbeda dengan yang mereka katakan dan sepakati sebelumnya? Di sinilah bias terjadi, pertama FGD membuat penyampaian pendapat tidak berjalan bebas dan orisinal untuk masing-masing orang, saling terpengaruh mempengaruhi pendapat antar peserta sangat mungkin terjadi.

Bias seanjutnya adalah sifat manusia yang cenderung menghindari konflik, dengan mengatakan apa yang ingin didengar oleh penanya, bukan apa yang mereka sebenarnya rasakan, pikirkan, dan ingin lakukan.

Kejadian itu membuktikan bahwa apa yang dikatakan oleh pengguna kita, tidak merepresentasikan sepenuhnya apa yang biasa dan akan mereka lakukan. Interview atau survey bisa mendapatkan informasi apa yang mereka fikirkan, tapi kedua hal tersebut belum bisa merepresentasikan secara menyeluruh apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Bagaimana dengan analytics tool seperti Google Analytics, Mixpanel, dll apakah itu bisa menangkap apa yang dilakukan oleh pengguna kita?

Benar bisa menangkap fakta dan data dari interaksi pengguna dengan produk kita, tapi masih kurang merepresentasinya apa alasan di balik perilaku tersebut, pertanyaan mengapa yang menjadi dasar dan informasi penting untuk pengambilan keputusan kita.

Salah satu cara untuk mengetahui apa yang dilakukan oleh pengguna kita, sekaligus juga mendapatkan insight mengapa mereka melakukan hal tersebut adalah dengan melakukan usability testing.

Usability testing adalah aktivitas untuk mengetahui bagaimana pengguna memakai produk kita dengan melakukan uji coba langsung bersama mereka.

Pengguna diberikan tugas atau instruksi tertentu yang harus dijalankan kemudian kita mengamati bagaimana mereka menyelesaikan instruksi tersebut dengan menggunakan produk kita.

Proses SImulasi Usability Testing di Google Launchpad Batch 3 | Sumber: Andreas Senjaya

Dengan melakukan aktivitas tersebut, kita bisa mendapatkan informasi bagaimana mereka berperilaku dengan produk kita, dan juga mendapatkan insight mengapa mereka melakukan hal tersebut.

Usability testing adalah salah satu kegiatan penting yang dilakukan untuk mem-validasi asumsi-asumsi kita tentang bagaimana sikap dan perilaku pengguna tentang produk kita.

Jika kita mampu melakukan usability testing secara berkala, minimal 1 bulan sekali, maka kita akan membangun kebiasaan pengembangan produk berbasiskan data dan feedback pengguna yang minim bias, sekaligus ajang bagi kita berinteraksi langsung dengan pengguna produk kita.

Karena seorang kreator produk tidak cukup hanya duduk di meja kerjanya, membuat produk yang diharapkan mampu membantu kehidupan orang lain saja.

Ia harus berinteraksi dengan penggunanya untuk mempertajam empatinya dan membangun hubungan yang kuat dengan penggunanya.

Tulisan ini pertama kali terbit disini

Related Posts

Tinggalkan komentar