5 Contoh “Psychological Pricing” yang Bisa Anda Coba

Sumber: Freepik

Teknik menjual sebenarnya berkaitan erat dengan kemampuan seseorang/sebuah perusahaan untuk “memengaruhi pikiran” orang lain agar membeli produk yang dijualnya. Berbicara tentang pikiran manusia, pastinya hal ini tidak dapat dipisahkan dengan ilmu psikologi.

Ya, biasanya para penjual, sadar ataupun tidak, akan selalu berusaha memunculkan efek-efek psikologis untuk meyakinkan orang agar mau membeli produknya.

Efek-efek psikologis yang dimunculkan biasanya berbentuk tampilan barang yang menarik, iklan yang gencar, diskon-diskon yang diberikan, sampai dengan penentuan harga psikologis (psychological pricing) yang menarik perhatian.

Nah, pada kesempatan ini Tebi ingin berbagi mengenai 5 contoh praktik dari penentuan harga psikologis (psychological pricing) yang dapat anda coba terapkan dalam bisnis anda.

Menunjukkan Perbedaan Harga Secara Visual

Sumber: Freepik

Biasanya teknik ini dipakai jika anda ingin memberikan diskon (penurunan harga) temporer terhadap sebuah barang jualan anda.

Jika memakai teknik ini, anda tidak akan menghapus harga barang yang lama tetapi justru akan anda pampang bersama dengan harga baru yang lebih murah agar orang-orang bisa melihat penurunan harga yang anda berikan.

Lalu anda akan “mencoret” atau “menyilang” harga yang lama, menunjukkan bahwa harga tersebut sudah tidak berlaku lagi karena sudah berganti menjadi harga baru yang lebih murah.

Nah, efek perbadaan harga ini akan semakin kuat memengaruhi orang secara psikologis jika anda lebih menegaskan perbedaan harga ini dari segi visual.

Anda bisa membedakan jenis, ukuran, warna font yang digunakan. Anda juga dapat memberikan impresi yang menonjol pada harga baru dari segi visual. Misalnya, anda dapat mengatur jenis, ukuran, warna font untuk harga baru yang lebih ceria dan meriah, sedang harga lama dibuat lebih suram.

Selanjutnya, anda bisa mempermanis penawaran yang anda berikan dengan membuat tenggat waktu diskon. Misal “hanya berlaku untuk 50 pembeli tercepat” atau “hanya berlaku sampai akhir bulan” untuk memaksa orang-orang mengambil promo menarik tersebut secepatnya.

Beli 1 Gratis 1

Sumber: Freepik

Dengan strategi ini, orang yang membeli barang kita otomatis akan mendapatkan 1 barang lagi secara gratis (buy 1 get 1 free). Ini adalah strategi psikologis lama yang biasa dipakai untuk menyelami karakteristik logis dan rasionalnya manusia.

Jika kata beli 1 gratis 1 menggaung di kepala, maka secara logis dan rasional orang akan cenderung membeli produk tersebut dengan motif mendapatkan 1 barang gratis. Padahal mungkin sebelumnya tidak terbesit sama sekali di pikiran orang tersebut untuk membeli produk kita.

Sayangnya, karena ini adalah strategi lama dan sudah banyak sekali perusahaan yang mengadopsi teknik ini, maka makin kesini semakin sedikit orang-orang yang “terjebak” dalam skenario beli 1 gratis 1 ini. Namun, bukan berarti anda tidak dapat memakai teknik ini sama sekali.

Sebaliknya, anda bisa menjadikan substansi dari adanya teknik ini sebagai insight untuk kemudian anda modifikasi. Anda bisa membuat penawaran lain dengan inti yang sama: menyerang karakteristik logis dan rasional manusia.

Contoh dari pengembangan konsep beli 1 gratis 1 yang menjadi praktik banyak perusahaan saat ini adalah sebagai berikut:

  • Beli 1 dapat 25% diskon untuk pembelian setelahnya.
  • Beli 1 gratis 3.
  • Beli 1 dapat voucher Rp 50.000 untuk pembelian setelahnya.

Charm Pricing

Sumber: Freepik

Charm Pricing merupakan strategi penentuan harga psikologis yang melibatkan angka “9”, “99”, atau “999” dalam menentukan harga.

Dengan menggunakan Charm Pricing, maka sebuah harga yang sudah bulat akan diturunkan 1 rupiah sehingga 3 angka di belakangnya menjadi 999.

Sebagai contoh, jika aslinya anda memiliki produk dengan harga Rp 1.000.000, dengan menggunakan Charm Pricing maka harga yang anda tetapkan untuk produk tersebut menjadi Rp 999.999.

Dalam alam bawah sadar, orang-orang yang melihat harga Rp 999.999 akan berpikir “Oh harganya 900 ribuan, belum sampai Rp 1.000.000.”

Pemberian harga dengan strategi Charm Pricing ini bukannya tanpa bukti empiris. Thomas dan Morwitz pada tahun 2005 berhasil membuktikan dalam riset mereka bahwa orang-orang akan cenderung melihat digit paling kiri untuk menentukan apakah sebuah harga lebih  murah atau tidak.

Dari riset tersebut, dapat disimpulkan jika harga lebih murah tapi digit kiri tidak berubah, maka orang-orang cenderung menganggapnya sama. Contoh: antara Rp 980.000 dengan Rp 910.000. Orang-orang cenderung melihatnya sama karena digit paling kiri tidak berubah, yakni tetap 9.

Prestige Pricing

Sumber: Freepik

Jika charm pricing yang ingin membuat produk terkesan lebih murah, prestige pricing adalah kebalikannya: strategi untuk membuat produk seolah lebih mahal dan lebih prestis.

Jika charm pricing ingin membuatt harga produk tidak bulat, maka prestige pricing juga adalah kebalikannya: strategi untuk membuat harga produk menjadi bulat.

Hal ini berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kuangjie Zhe dan Monica Wadhwa tahun 2015 bahwa harga yang bulat dirasa lebih meyakinkan dan lebih mudah diproses oleh orang-orang.

Namun perlu diingat bahwa hal ini tidak lantas membuat prestige pricing adalah yang benar/lebih baik daripada charm pricing.

Sebaliknya, hal ini justru memberikan alternatif bagi anda untuk dapat meracik strategi psychological pricing agar dapat disesuaikan dengan jenis produk, strategi perusahaan, dan latar belakang budaya masyarakat setempat.

Comparative Pricing

Sumber: Freepik

Strategi ini biasanya dipakai jika anda sedang menawarkan aneka brand/merk fashion seperti baju, aksesori, sepatu, dan sejenisnya.Comparative Pricing dilakukan dengan cara menampilkan dua produk yang saling mensubtitusi (produk yang memiliki kesamaan karakteristik dan kegunaan).

Biasanya narasi yang dibangun adalah bagaimana dua produk tersebut memiliki kemiripan bahkan kesamaan dari segi karakteristik dan kualitas.Lalu setelah pesan tersebut dirasa sampai ke orang-orang, ditunjukkanlah bahwa harga produk yang satu lebih mahal dibanding dengan harga produk satunya.

Hal ini memberikan efek psikologis bagi orang-orang dengan rasionalitas berbeda. Sebagai contoh, jika yang dijual adalah sebuah jas/tuxedo, maka orang yang cenderung lebih hemat, selektif, dan berhitung akan lebih memilih produk yang harganya lebih murah.

Sebaliknya, untuk orang-orang yang lebih mementingkan keren, prestis, dan gaya maka akan lebih memilih tuxedo/jas dengan harga yang lebih mahal karena kualitas sama namun harga lebih tinggi mencerminkan brand yang lebih meyakinkan.

Related Posts

Tinggalkan komentar